DAZAI
(Ketika Senja Menyapa)
Mentari mulai terbit dan di kulihat sang surya di ufuk bukit malu-malu untuk menampakan cahayanya, aku sudah terbiasa bangun sebelum ayam berkokok atau sang surya sudah mulai bersinar, kami anak pondok sudah terbiasa akan hal itu. Kami harus berebut kamar mandi sebelum jam sekolah di mulai, semakin pagi kami bangun semakin mudah untuk mendapatkan kamar mandi, ya wajar dengan jumlah santri ± 1000 orang kamar mandi atau Wc terbatas dengan jumlah puluhan sampai 200 an saja.
“ Assalamualikum , A ayo ke mesjid” adik perempuan ku yang ke dua menyapa dan membuyarkan lamunanku ketika melihat mentari.
“waalaikumsalam yuk” sahut ku dengan cepat
“ A Afan mau pergi yah ?, aku dengar semalam Abah ,Umi sama A Sukma membicarakan Aa katanya Aamau pergi?” sambil berjalan ke mesjid adik ku memulai pembicaraan.
Oia sebelumnya ku perkenalkan sepupuku yang sudah kami anggap kakak kami atau yang biasa ku sebut Dazai namanya adalah Sukma Wijaya.
“ yup bener, Aa kan sudah tamat SMA masa di rumah terus, Aa mau mencari pengalaman di luar sana, bumi kan luas, masa Aa di sini aja” aku menjawab
“tapi kan aku tidak bisa main lagi sama A afan?” dengan nada sedih dia melanjutkan pembicaraannya.
“sudah sudah, kan banyak orang di sini” sambil membenarkan kupiah, ku menjawab.
. . . . Allahu Akbar. Allahu Akbar . . . . suara adzan subuh berkumandang menghiasi alam pagi yang berkah , membuat jiwa menjadi tenang seolah olah beban kehidupan sirna tak ada harapan.
Suasana Pagi di pondok seperti pasar yang ramai, hilir mudik oleh santri dengan segudang aktifitas pagi , ada yang menghapal, mencuci, belajar , dan lain-lain.
“Assalamualaikum A di panggil Abah sama Dazai” salah satu santri memanggilku membuyarkan lamunan ketika melihat hilir mudik para santri menuju ke rumah.
“oke terimakasih” , dengan sigap aku beranjak pergi dari mesjid.
“Assalamualaikum wr. wb, Abah memanggil saya ?” aku langsung duduk di kursi depan Abah, disana ada Umi dan juga Dazai.
“ waalaikumsalam wr. wb, ia A ada yang mau kita sampaikan “ sahut Umi, yang menjawab pertanyaanku.
“Jadi begini A, Abah, Umi dan Dazai mau kembali menanyakan apa bener tekad Aa sudah bulat mau menjadi Insinyur bukan mengikuti jejak Abah dan juga Dazai ?” Dazai membuka percakapan
“InsyaAllah , Abah, Umi dan juga Dazai , Afan sudah siap dengan segala resiko” jawab ku dengan mantap.
“ Jadi begini A, bukannya Abah melarang kamu mau menjadi apa, yang abah khwatirkan ketika kamu kuliah mengambil jurusan ke Insinyuran atau keteknikan Aa malah jauh sama Allah, dan juga Abah agak sedikit malu sama teman-teman Abah , teman –teman Abah anak-anaknya pada mondok mempersiapkan generasi penerus pondok, tapi anak Abah malah mau jadi Insinyur.” Sambil minum teh abah memulai pembicaraan.
Aku tahu pasti abah akan membicarakan hal ini karena sebelumnya aku sempat dilarang untuk kuliah mengambil jurusan teknik, abah ingin aku menjadi penerusnya, dan memang keluarga ini terlahir dari suasana pondok, mengingat Kakek nya kakek ku seorang ulama, kakek ku mempunyai pondok pesantren, terlebih abah dan juga Dazai.
“InsyaAllah Abah tidak usah khwatir dengan Aa, masalah kedekatannya dengan Allah, dan ga usah malu sama temen-temen Abah, kita percaya saja sama Afan” Dazai membela. Memang Dazai selalu mendukung apa yang ingin aku lakukan, terlebih dia selalu memotivasi ku untuk keluar dari daerah agar bisa melihat dunia dan merasakan kehidupan dunia yang sesungguhnya.
“Tapi A, ada satu syarat Aa boleh kuliah mengambil jurusan ke Insinyuran tapi harus kuliah di universitas Islam Madinah, biar kamu belajar agama di mesjid nabawi sama syekh-syekh terkenal, sekaligus kamu jadi marbot mesjid nabawi di sana, hahaa” sambung Dazai
Umi yang sejak tadi diam saja tiba-tiba tertawa, tapi aku jadi kesal atas ulah Dazai.
“ Tenang bah, InsyaAllah di Universitas Islam Madinah walaupun si Afan belajar keteknikan dia toh harus hafalan Al-Qur’an juga buat syarat kelulusan, Abah sama Umi tenang saja biar Saya yang mengaturnya, saya alhamdulilah banyak temen disana” Dazai meyakinkan kepada Abah.
Tiba-tiba Dazai tersenyum kepada ku, seperti dia berkata “gimana Afan, Madinah kan tempat yang ingin kau kunjungi, ayo wujudkan mimpimu”. Aku tau hal itu karena aku menulis di tembok kamarku tentang mimpi-mimpiku dan mungkin Dazai bahkan Abah membacanya.
“ Baiklah jika A Sukma siap membantu dan membolehkan, Abah sudah tidak khwatir lagi” Abah menyetujui
“Ya Allah Abah sudah kewajiban seorang saudara membantu saudaranya” tembal Dazai
Akhirnya pembicaraan itu selesai, Umi dan Abah bergegas dengan urusannya, dan aku bersama Dazai pergi ke kelas untuk memulai jadwal mengajar.
Namun diperjalanan tiba-tiba Dazai berkata yang sampai detik ini aku selalu mengingatnya
“ Afan, kamu harus berjanji pada dirimu, bahwa kamu akan hidup sesuai dengan Janji mu”
. . . Bersambung. . .
0 Komentar